Penulis: Al Ustadz Muhammad Umar As Sewed
Ustadz-ustadz kami mengatakan bahwa memperingati Maulid Nabi merupakan bukti kecintaan terhadap Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam….
Cinta kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan juga cinta Kepada Allah Subhanahu Wata’ala dibuktikan dengan ittiba’ (mengikuti ajarannya) bukan dengan ibtida’ (mengada-adakan kebid’ahan). Allah berfirman (yang artinya),
“Katakanlah (Wahai Nabi): “Jika kalian benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku. Niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosa kalian.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Ali Imran:31)
Demikian juga cinta kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dibuktikan dengan mendudukkan beliau kepada kedudukannya yang mulia sebagai panutan, ikutan, dan teladan yang kita jadikan contoh, bukan mengangkatnya secara berlebihan dan melampaui batas dengan memberikan sifat-sifat ketuhanan kepada beliau. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda (yang artinya),
“Jangan kalian puji aku berlebihan sebagaimana kaum Nashara memuji Isa bin Maryam. Hanya saja aku ini adalah hamba Allah, maka katakanlah, “Hamba Allah dan Rasul-Nya”" (Hadits riwayat Bukhari)
Memuji dengan berlebihan seperti kaum Nashara adalah dengan menjadikan tuhan, atau anak tuhan atau “satu yang tiga, tiga yang satu”. Yakni memberikan sifat-sifat ketuhanan kepada Isa Alaihis Salam.
Dan juga Allah berfirman (yang artinya),
Katakanlah, “Sesungguhnya aku ini hamba-Nya, seorang manusia seperti kalian, yang diwahyukan kepadaku, “Bahwa sesungguhnya Ilah kalian itu adalah Ilah Yang Maha Esa”" (Al Kahfi:110)
Yakni Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam diperintahkan utuk menyatakan dirinya sebagai manusia yaitu makhluk yang Allah ciptakan, tidak memiliki sifat-sifat ketuhanan baik uluhiyah maupun rububuyah. Hanya saja beliau adalah manusia pilihan (Al Musthofa) dan manusia terbaik yang Allah Azza Wa Jalla angkat sebagai Rasul serta mendapatkan wahyu.
Tapi kami tidak menuhankan dan tidak meyakini bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah Rabb yang menguasai alam semesta dan menyatakan beliau sebagai anak tuhan seperti Nashrani?
Alhamdulillah, itu bukti kalau kalian masih muslim. Berarti apa yang kalian ucapkan, dalam bait-bait syair pujian kepada Nabi dengan tidak sadar dan dengan tidak memahami artinya.
Perlu kalian ketahui, sesungguhnya menuhankan Nabi itu dengan 2 model:
Pertama, mensifati beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dengan sifat yang hanya dimiliki oleh Allah Subhanahu Wata’ala.
Kedua, memperlakukan beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam seperti memperlakukan Allah Subhanahu Wata’ala.
Kedua bentuk penuhanan Nabi terdapat dalam syair-syair pujian kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang biasa mereka baca ketika perayaan Maulud Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Seperti Nadham Al Bushiri, ia mensifati Rasul dengan sifat-sifat Allah:
1. Menganggap Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengetahui hal-hal ghaib yang tercatat di Lauhul Mahfudz, yaitu ucapan mereka:
Dan termasuk ilmu-ilmumu adalah ilmu Lauhul Mahfudz dan ilmu al qalam
Yakni yang dimaksud adalah ilmu yang terdapat di Lauhul Mahfudz yang ditulis dengan pena, yakni ilmu tentang apa-apa yang Allah takdirkan dan Allah tuliskan.
“Sesungguhnya awal pertama Allah ciptakan adalah pena. Kemudian Allah berfrman, “Tulislah!”. Maka pena berkata “Apa yang aku tulis?”. Allah berfirman, “Tulislah taqdir-taqdir segala sesuatu apa yang tela terjadi dan apa yang akan terjadi sampai akhir masa”" (Hadits riwayat Tirmidzi, Syaikh Al Albany menshahihkannya dalam Jami’at Tirmidzi no 2155)
Kalau kalian menyatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mempunyai ilmu ini, berarti kalian menganggap bahwa Rasulullah mengetahui hal-hal yang ghaib. Padahal Allah telah berfirman mengisahkan RasulNya (yang artinya)
“Dan aku (Rasul) tidak mengatakan keepada kalian (bahwa) aku mempunyai gudang-gudang rizki dan kekayaan dari Allah, dan aku tidak mengetahui yang ghaib, dan tidak pula aku mengatakan bahwa sesungguhnya aku adalah malaikat….” (Huud:31)
Dan juga dalam firman-Nya (yang artinya)
“Dan pada sisi Allah lah kunci-kunci keghaiban, tidak ada yang mengetahui kecuali Dia sendiri….” (Al An’aam:59)
Allah Subhanahu Wata’ala juga memerintahkan kepada Nabi-Nya untuk mengikrarkan bahwa dirinya tida mengetahui hal-hal yang ghaib tersebut. Allah berfirman (yang artinya)
“Katakanlah (wahai Nabi), “Aku (Rasul) tidak berkuasa menentukan kemanfaatan bagi diriku dan tidak pula menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tIdak lain hanyalah pemberi peringatan dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman”" (Al ‘Araf:188)
2. Menganggap bahwa keberadaan langit dan bumi adalah dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam seperti pada potongan pertama bait di atas, yakni:
Dan sesungguhnya karena kedermawananmulah adanya dunia dan pasangannya (langit)
Kalau seluruh langit dan bumi dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam maka apa sisanya yang merupakan milik Allah?
Berkata Ibnu Rajab, “Sesungguhnya dia (Bushiri) tidak menyisakan sedikitpun untuk Allah, jika dunia dan akhirat dari Rasulullah” (Kutub laisat minal Islam oleh Istanbuli hal 16;lihat Irsyadul Bariyyah, hal 85)
Bukankah ada hadits Qudsi yang menyatakan “Jika bukan karena engkau, tidaklah aku ciptakan alam semesta”??
Memang ada hadits yang mrip seperti itu, yaitu
“Datang kepadaku Jibril seraya berkata (menyampaikan ucapan Allah), “Wahai Muhammad, kalau bukan karena engkau, tidak Aku ciptakan surga. Dan kalau bukan karena engkau, tidak aku ciptakan neraka”-dalam riwayat Ibnu Syakir “Kalau bukan karena engkau tidak aku ciptakan dunia”"
Namun hadits ini adalah hadits yang palsu (Maudhu’). Syaikh Al Albany menyebutkannya dalam As Silsilah Al Hadits Ad Dhaifah, hadits 282.
Ini kalau ditinjau dari sisi matan (isinya) jelas-jelas bertentangan dengan Al Qur’an yang menyatakan tentang hikmahnya penciptaan langit dan bumi adalah untuk beribadah kepada Allah dan menguji manusia:
“Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan Dia adalah Arsy-nya di atas air, agar Dia menguji siapakah diantara kalian yang lebih baik amalnya….” (Huud:7)
Dan firman-Nya (yang artinya)
“Dan aku tidak menciptakan jin manusia melainkan supaya mereka beribadah kepadaKu” (Ad Dzariyat:56)
Adapun Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam diperintahkan untuk menyatakan bahwa dirinya tidak bisa menentukan manfaat dan mudharat.
Demikian pula menuhankan Nabi dengan memperlakukan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam seperti Allah dnengan mengarahkan kepadanya bentuk-bentuk ibadah seperti do’a, isti’anah, istghotsah, dan lain-lain. Ini juga terdapat pada syair-syair yang kalian baca:
- Memanggil dengan menyerunya seakan-akan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam Maha Mendengar dan Maha Melihat, seperti seruan kalian dalam acara tersebut: Ya Habiballah, Ya Nabiyallah, Ya Nurul’Aini, Ya Jaddal Husaini. Kalian seakan-akan mengajak berbicara Rasululah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam seakan-akan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ketika masih hidupnya atau seakan-akan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam hadir di hadapan kalian.
- Berdoa meminta keselamatan dunia dan akhirat kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam seakan-akan beliau adalah Mujibus Sailin (Pengabul Do’a), seperti ucapan kalian,”Wahai semulia-mulia makhluq, aku tidak mendapati bagiku seorang pelindug selain engkau ketika terjadi bencana yang merata.”. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sendiri menyatakan (yang artinya), “Tidak ada tempat bersandar, tidak ada tempat menyelamatkan diri, kecuali pada engkau (Allah).”
- Menganggap bahwa Ruh Nabi Shallallahu “Alaihi Wasallam datang pada setiap acara-acara kalian, sehingga kalian menyambutnya dengan berdiri dan mengucapkan: Marhaban Ya Nurul ‘Aini, Marhaban Ya Jaddal Husaini (Selamat datang wahai Nurul’Aini, selamat datang wahai kakeknya 2 husain)
Kalian tidak berfikir bagaimana bisa ruh Nabi Shallallahu’Alaihi Wasallam datang ke semua acara maulid-maulid kalian di tempat yang berbeda-beda dan dalam waktu yang bersamaan. Tidakkah ini menunjukkan bahwa kalian menganggap Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam seperti apa yang difirmankan Allah tentang diri-Nya (yang artinya), “Dan Dia bersama kalian dimana saja kalian berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kalian kerjakan” (Al Hadid:4)
Namun bukankah Allah menyatakan, “Aku bersama hambaku yang mengingatKu”. Maka ketika kita mengingat Nabi dan menyanjungnya, maka nabipun hadir bersama kita??
Ucapan kalian ini menambah bukti kalau kalian benar-benar telah mendudukkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam seperti Tuhan. Bagaimana mungkin kalian meng qiyas kan sesuatu yang sama sekali berbeda? Bukankah qiyas itu harus mempunyai syarat-syarat?
Kami tanyakan kepada kalian apa Wajhus Syabah (sisi persamaan) antara Allah dan Rasul-Nya? Padahal Allah dengan tegas menyatakan (yang artinya):
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (Asy Syuraa;11)
Maka sejelk-jeleknya qiyas adalah mengqiyaskan makhluq dengan khaliq (sang pencipta) nya, mengqiyaskan hamba dengan sesembahannya, sungguh ini qiyas yang bathil. Wallahu ‘alam.